Minggu, 24 Mei 2009

PERISTIWA PENEMBAKAN MISTERIUS 1983

PERISTIWA PENEMBAKAN MISTERIUS 1983

SUHARTO BUKAN “PETRUK” TAPI “PETRUS” !!

Dari berbagai sumber

< “Petrus” acronym dari “Penembak Misterius”>

Kira-kira 5 tahun yang lalu, Ben Anderson menulis sebuah artikel penting berjudul ‘PETRUS DADI RATU’(New Left Revue May-June 2000).

Di situ beliau membeberkan fakta-fakta dan data-data: bahwa apa yang terjadi pada dinihari tanggal 1 Oktober 1965 , adalah suatu operasi intelejen tentara, yang diregisir sedemikian rupa, dengan maksud supaya gagal. Kemudian peristiwa yang gagal itu digunakan sebagai alasan untuk mengambil tindakan drastis, melakukan pengejaran dan pembantaian terhadap kaum komunis (PKI) dan golongan kiri, dengan sasaran merebut kekuasan dari Presiden Sukarno. Tulisan Ben itu, meski ditulis 5 tahun yang lalu tetapi masih relevan. Bahkan merupakan suatu bahan analitis yang beralasan dan argumentatif, juga meyakinkan mengenai kesimpulan yang diambilnya.

Pada bagian akhir tulisannya itu Ben Anderson, dengan serius menulis:

Sebagian besar dari para pelaku pada peristiwa tsb dan yang terjadi sesudahnya, para saksi kunci mengenai krisis 1965, -- atau sudah mati atau dibunuh. Mereka yang masih hidup menutup mulut mereka rapat-rapat, atas dasar berbagai motiv: umpamanya Umar Wirahadikusuma, Omar Dani, Sudharsono, Rewang, M. Yusuf, Benny Murdani, Ny. Hartini, Mursyid, Yoga Sugama, Andi Yusuf dan Kemal Idris. . Kini, 35 tahun kemudian sejak 1965, apakah tidak baik demi haridepan bangsa Indonesia bila orang-orang ini diharuskan untuk memberikan kesaksian yang paling rinci mengenai apa yang mereka lakukan dan saksikan, sebelum mereka menemui Sang Pencipta? Demikian Ben.

Menurut pepatah kuno, tulis Ben Anderson lagi, --- mesin giling Tuhan bekerja lamban tetapi hasil gilingannya halus sekali. Makna dari peribahasa ini ialah, akhirnya beras-kebenaran akan dipisahkan dari dedak-kerincuan dan kedustaan. Di setiap bagian dunia ini, betapapun, -- pada suatu hari kelak, dokumen-dokumen yang dalam waktu lama dirahasiakan, manuskrip dan memoir yang tersimpan dalam laci-laci terkunci, dan catatan-harian penuh abu di loténg para cucu, akhirnya akan dimasukkan ke mesin giling—NYA, dan isinya akan terbuka bagi generasi mendatang.

Demikianlah keyakinan Ben Anderson, bahwa bagaimanapun kerahasiaan dan kebohongan menutupi peristiwa 1965, ditutupi, pada suatu hari kelak semuanya itu akan terbongkar, dan kebenaran akan terungkap.

Ben memulai tulisannya dengan menganalisis tentang pembelaan Kolonel Latief di muka sidang Mahmilub, sesudah 13 tahun lamanya ia disekap dalam tahanan khusus, disekat dari setiap hubungan luar. Ben Anderson menyamakan pembelaan Kolonel Latief tsb, dengan pidato pembelaan Bung Karno dimuka pengadilan kolonial Bandung, yang pada hakikatnya adalah pidato gugatan terhadap kolonialisme: INDONESIA MENGGUGAT (1930). Juga Kolonel Latief menggugat Jendral Suharto, menggugat Orba, teristimewa kekejamannya, mengenai kelicikan dan despotisme penciptanya.

Sayang sekali bahwa dokumen bersejarah ini harus menunggu 22 tahun sampai ia bisa dibaca oleh rakyat Indonesia, yang dicintainya, kata Ben.

Semula aku merasa pasti betul bahwa Ben Anderson, Indonesianis terkenal berbangsa Amerika, yang bersama Indonesianis Amerika lainnya, Ruth McVey, pada periode awal Jendral Suharto (lewat cara kup merangkak) merebut kekuasaan dari Presiden Sukarno, --- menulis sebuah analisis (preliminary) sekitar “G30S”, -- yang kemudian terkenal dengan nama “CORNELL PAPERS”,--- bahwa ia (Ben Anderson) telah membuat kekeliruan dalam memilih judul tulisannya, --- tentang pembantaian 1965 yang terjadi di Indonesia. ‘PETRUS DADI RATU’, begitulah judul tulisan Benedict Anderson. Seingatku salah satu cerita wayang yang populer di kalangan penggemar ceritera wayang di Jawa dan Indonesia, ialah cerita ‘PETRUK DADI RATU’. Artinya ‘Petruk jadi ratu’. Jelas tokoh itu bernama ‘Petruk’, dengan huruf terakhir (k), bukan ‘Petrus’ yang huruf akhirnya adalah (s). Kutanyakan pada istriku, Murti, yang orang Jawa itu, -- bukankah tokoh ‘Petruk’ itu dari ceritera wayang? ‘PETRUK’, kata Murti, adalah salah satu tokoh ‘badut’ bersama ‘GARENG’ dan BAGONG. Tokoh lainnya adalah bapaknya, bernama ‘SEMAR’, yang sesungguhnya adalah dewa. Dalam ceritera wayang itu, tokoh-tokoh itu adalah tokoh positif. Ke-empat-empatnya adalah tokoh yang amat populer dalam ceritera wayang. Amat disukai rakyat. Karena mereka-mereka itu lucu, cerdik. Kuingat pada zaman tahun-tahun Republik Indonesia diproklamasikan, Radio Republik Indonesia (RRI)di Jakarta menyiarkan acara tetap seminggu sekali, suatu ‘talkshow’ yang dibintangi oleh Mang CEPOT dan Mang UDÉL. Dua tokoh ini adalah dari ceritera wayang-golék Sunda (Jawa Barat), yang juga populer, lucu dan cerdik. Menggunakan tokoh-tokoh ceritera wayang untuk menyoroti ‘kekinian’ adalah suatu tradisi dalam kebudayaan rakyat kita.

Kufikir, mengapa pula Ben Anderson mengambil tokoh ‘PETRUK’ dalam menjuluki Suharto. Ini, kalau benar yang dimaksud Ben Anderson memang ‘Petruk’ tetapi Ben salah tulis, lalu ‘PETRUK’ menjadi ‘PETRUS’. Kufikir lagi, bukankah PETRUK itu adalah seorang tokoh positif dalam ceritera wayang. Sedangkan Ben Anderson adalah salah seorang pakar asing PENGERITIK Suharto yang paling vokal, argumentatif atas dasar data-data dan kesaksian-kesaksian, dan amat beralasan. Maka jadilah soal mengapa mengumpamakan Suharto dengan PETRUS?

Sesudah membaca sampai selesai artikel Ben Anderson tsb, jelas bahwa Ben Anderson t i d a k s a l a h tulis. Memang, yang beliau maksudkan adalah ‘P E T R U S DADI RATU’. Dan yang dimaksudkan dengan “Petrus” itu, seperti kita tahu semua, adalah “Penembak Misterius”. Jelas pula bahwa Ben Anderson menyamakan SUHARTO dengan ‘PENEMBAK MISTERIUS” aparat negara, yang tanpa proses peradilan apapun, merajalela main tembak-mati siapa saja yang tubuhnya ‘bertattoo”; kemudian mayatnya sengaja dibuang ditengah jalan atau dipinggir sungai, supaya bisa dilihat publik . Dengan dalih ‘membasmi kriminalitas’ secara tuntas menggunakan cara “teror” yang berdarah dingin, untuk mencapai tujuannya. Ini diakui Suharto sendiri dalam buku biografinya.

Menurut Ben Anderson, Amnesty International memperhitungkan, bahwa kira-kira 7.000 yang dibunuh secara ekstra-judisial dalam peristiwa “Petrus”, pada tahun 1983. Suatu pembunuhan terorganisasi terhadap kriminil-kiminil teri. Sedangkan mereka-mereka itu sering tadinya adalah agen-agen penguasa. Olok-olokan mengerikan menyebut penembak-penembak misterius itu sebagai serdadu-serdadu berjubah yang mereka sebut --‘Petrus’-- , maksudnya St Peter.

Begitulah, tokoh-tokoh wayang, baik yang Jawa maupun yang Sunda, sering digunakan untuk meceriterakan dan mengomentari, memuji ataupun mengeritik keadaan kini.

Dalam analisisnya atas dasar fakta-fakta dan data-data yang ada, termasuk data-data dari dokumentasi CIA, dokumen-dokumen Mahmilub, dan ‘sak-dabrek’ dokumentasi mengenai Indonesia yang paling banyak di luar negeri mengenai peristiwa 30 September, Ben Anderson, banyak menyoroti pelaku-pelaku pimpinan G30S seperti Letkol Untung, Letkol Latief, Lettu Dul Arief (yang melakukan penculikan terhadap para jendral yang kemudian di bunuh. Dul Arief “hilang” tak tahu dimana rimbanya. AD dan Orba bungkam mengenai “menghilangnya” Dul Arief), Brigjen Supardjo, Syam Kamaruzzaman --- terutama mengenai tokoh Letkol Latief.

Ben menunjukkan bahwa tokoh-tokoh G30S tsb kebanyakan berasal dari Divisi Diponegoro, anak-buah terdekat Jendral Suharto.

Dibeberkan bahwa Suharto berbohong mengenai kunjungan Letkol Latief ke rumah sakit untuk menemui Suharto, pada tanggal 30 September malam, beberapa jam sebelum meletusnya peristiwa “30 Septmber”. Ketika itu Suharto sedang menjenguk putranya, Tommy, yang diopname karena musibah kesiram sup panas.

Kepada wartawan Amerika Arnold Brackman, Suharto mengatakan bahwa Latief menemuinya untuk “ngecek” tentang keberadaan Suharto di rumah sakit. Ben Anderson juga tidak jelas “apanya” yang mau “dicek”, karena Suharto juga tidak menjelaskan apa yang hendak “dicek” Latief mengenai keberadaan Suharto di rumah sakit itu. Pada kesempatan lain Suharto menjelaskan kepada majalah Jerman “Der Spiegel” bahwa kedatangan Abdul Latief menemuinya di rumah sakit malam itu, adalah untuk “membunuhnya”. Tidak dilakukan Latief, karena, kata Suharto, ketika itu banyak orang di rumah sakit. Seolah-olah seorang militer seperti Latief itu, tidak mengetahui sebelumnya, bahwa di rumah sakit akan selalu banyak orang. Jadi, ceritera Suharto kepada “Der Spiegel” itu, tidak cocok dengan ceritera Suharto sendiri kepada Arnold Brackman. Mana yang betul. Latief kemudian menyatakan bahwa ia menemui Suharto malam itu, justru untuk menginformasikan tentang apa yang akan terjadi beberapa jam lagi.

Ben Anderson menunjukkan bahwa fakta-fakta yang bisa dipelajari memperkuat tuduhan Latief (kepada Suharto).Hampir semua pelaku kunci militer G30S, pada saat itu atau sebelumnya, adalah bawahan dekat Suharto, yaitu: Letkol Untung, Kolonel Latief, dan Brigjen Supardjo di Jakarta, dan Kolonel Suherman, Mayor Usman, dan sobat-sobatnya di markas Divisi Dipenegoro di Semarang. (Bersambung)

KETERLIBATAN SUHARTO

Berikut ini adalah lanjutan tentang tulisan Ben Anderson tsb:
Tingkat keterlibatan Suharto dengan kebenaran dapat diukur dari fakta-fakta berikut ini. Pada tanggal 4 Oktober 1965, sebuah tim dokter forensik menyampaikan langsung kepadanya (Suharto) utopsis rinci yang mereka buat mengenai jenazah para jendral yang dibunuh. Utopsi tsb menunjukkan bahwa semua korban ditembak mati dengan senjata tentara. Tetapi d u a h a r i kemudian, diluncurkan suatu kampanye di media pers, yang ketika itu sudah sepenuhnya dikuasai oleh KOSTRAD, bahwa mata para jendral telah dicungkil, dan kemaluan mereka dipotong-potong, oleh anggota-anggota Gerwani . Kebohongan-kebohongan yang keterlaluan ini dirancangkan untuk menciptakan suatu histeria anti-komunis di segenap lapisan masyarakat Indonesia. Tulis Ben.

Pada saat-saat itu, permulaan Oktober sampai akhir Oktober 1965, pas penulis (Ibrahim Isa) sedang ada di Jakarta. Baru datang dari Cairo, pangkalan kerja di Sekretariat Tetap Setiakawan Rakyat-Rakyat Asia-Afrika. Kedatanganku di Jakarta adalah untuk ambil bagian dalam pekerjaan Konferensi Internasional Anti Pangkalan-Pangkalan Militer Asing (KIAPPMA) yang dirancangkan dan dilangsungkan di Jakarta pada bulan Oktober 1965. Keberadaanku di Jakarta memberikan kesempatan untuk menyaksikan dengan mata-kepala sendiri bagaimana kampanye histeria anti-komunis itu dilancarkan secara besar-besaran oleh fihak militer. Suatu kampanye kebohongan dan fitnah yang dilancarkan amat berencana dan meliputi seluruh negeri. Semua media massa, seperti radio, TV dan pers digerakkan. Semua mass media lainnya, yang Nasionalis, yang Komunis dan Kiri lainnya, yang Islam maupun Kristen, dan yang ‘independen’; semuanya telah dibungkam dan diberangus sebelumnya. Para wartawan dan pemimpin redaksinya ditangkap, dipenjarakan dan banyak yang “hilang” tak tahu dimana rimbanya.

Dengan demikian Suharto sebagai penguasa baru dengan seluas-luasnya melakukan kampanye kebohongan itu, tanpa ada satu media massa pun yang dapat menyanggah, ataupun memberitakan yang lain.

Mengenai betapa dekatnya para pelaku G30S dengan Suharto, Ben Anderson menulis, sbb: Ketika Untung menikah di Semarang (1963), Suharto khusus pergi ke sebuah desa kecil di Jawa Tengah untuk menghadiri upacara pernikahan itu. Ketika putra Suharto, Sigit, disunat, Latief diundang untuk hadir, dan ketika putra Latief pada waktunya disunat, keluarga Suharto hadir sebagai tamu kehormatan. Jelas sekali bahwa para perwira ini, yang bukan ‘anak kemarin dulu’, sepenuhnya percaya bahwa Suharto ada di fihak mereka dalam usaha mereka untuk menyelamatkan Sukarno dari konspirasi Dewan Jendral. Kepercayaan sedemikian rupa itu tidak mungkin terjadi, kecuali Suharto, langsung atau tidak langsung, memberikan persetujuannya pada rencana mereka. Oleh karena itu samasekali tidak mengherankan bahwa jawaban Latief terhadap pertanyaan saya (Ben Anderson), “Apa perasaan Anda pada malam 1 Oktber?” , adalah “Saya merasa bahwa saya telah dikhianati”.


MENJELASKAN MISTERI YANG MELIPUTI G30S:

Selanjutnya, tulis Ben, kesaksian Latief menerangkan dengan jelas salah satu dari misteri yang meliputi Gerakan 30 September. Mengapa dua jendral yang secara langsung mengkomandoi pasukan-pasukan di Jakarta, kecuali pasukan Pengawal Presiden – yaitu Komandan Kostrad Suharto dan Komandan Wilayah Militer Jakarta Umar – tidak “diamankan” oleh Gerakan 30 Septemer. Ini bila para anggota (G30S) itu benar-benar bermaksud melakukan kup untuk menggulingkan pemerintah, sebagaimana dituduhkan oleh Jaksa Penuntut Militer? Alasannya ialah, tulis Ben, kedua tokoh itu (Suharto dan Umar) dianggap sebagai sahabat.

Point lainnya, ialah ini, tulis Ben: Kita mengetahui bahwa beberapa bulan sebelum 1 Oktober, Ali Murtopo, ketika itu menjabat kepala intelejen Kostrad, sedang melaksanakan suatu politik luar negeri yang dirahasiakan terhadap Sukarno dan Yani. Dengan menggunakan kontak-kontak mereka dengan para mantan pemberontak , hubungan klandestin diadakan dengan pimpinan dari negeri-negeri yanag bermusuhan (dengan Indonesia), Malaysia dan Singapura, juga dengan Amerika Serikat. Ketika itu Benny Murdani melanjutkan hubungan-hubunan ini dari Bangkok, di mana ia menyamar sebagai pegawai kantor Garuda setempat. Maka, tampaknya Latief benar ketika ia menyatakan bahwa Suharto bermuka-dua, atau mungkin lebih baik dikatakan, bertinju-dua. Pada tinju pertama ia memegang Latief-Untung-Supardjo, dan pada tinju lainnya Murtopo-Yoga Sugama-Murdani . Demikian Ben Anderson.

JUSTRU SUHARTO PERANCANG & PELAKU PENGGULINGAN SUKARNO
Ben Anderson melanjutkan analisisnya: Gugatan kedua membalikkan tuduhan-tuduhan Jaksa Militer bahwa Gerakan 30 September bermaksud untuk menggulingkan pemerintah dan bahwa Dewan Jendral adalah serentetan dusta belaka. Kesimpulan Latief ialah bahwa justru adalah Suharto yang merancangkan dan melaksanakan penggulingan Sukarno; dan bahwa Dewan Jendral itu memang ada – bukan terdiri dari Nasution, Yani dll, tetapi terdiri dari orang-orang kepercayaan Suharto, yang selanjutnya meciptakan kediktaturan berlandaskan Tentara yang berlangsung puluhan tahun. Disini, tulis Ben Andrson, sekali lagi fakta-fakta ada di fihak Latief.

Jendral Pranoto Reksosamudro, yang ditunjuk oleh Presiden/Panglima Tertinggi Sukarno, dihadapkan pada kenyataan bahwa pengangkatannya itu (oleh Sukarno) ditentang oleh Suharto, dan kemudian segera ia (Pranoto) ditahan. Aidit, Lukman dan Nyoto, tiga pemimpin tertinggi Partai Komunis Indonesia, ketika itu menjabat kedudukan menteri dalam pemerintah Sukarno, telah dibunuh habis. Dan meskipun Presiden Sukarno melakukan apa yang ia bisa lakukan untuk mencegahnya, Suharto dan konco-konsonya merangcangkan dan melaksanakan pembunuhan masal dalam bulan-bulan Oktober, November dan Desember 1965. Sebagaimana ditegaskan oleh Latief, tulis Ben, dalam bulan Maret 1966 suatu ‘kup diam-diam’ terjadi: kesatuan-kesatuan militer mengepung gedung dimana suatu sidang pleno kabinet sedang berlangsung, dan beberapa jam kemudian Presiden dipaksa, boleh dibilang di bawah todongan senjata, untuk menandatangani Supersemar yang super-gelap itu.. Suharto segera memecat kabinet dan memenjarakan limabelas orang menteri.

Tulis Ben Anderson selanjutnya, kesimpoulan sederhana Latief ialah bahwa, bukanlah Gerakan 30 September yang bersalah melakukan pembangkangan berencana terhadap Presiden, yang berakhir dengan penggulingannya, tetapi adalah orang, yang oleh pergunjingan akhir-akhir ini, menyebutnya sebagai Mr TEK.

KEKEJAMAN LUAR BIASA
Lanjut Ben Anderson: Gugatan Ketiga Latief adalah lebih luas dari gugatan-gugatan lainnya dan sama gawatnya. Ia menggugat penguasa Orde Baru melakukan kekejaman luar biasa dan sepenuhnya ekstra-ilegal. Bahwa si penggugat sampai saat ini masih hidup, dengan kecerdasan yang utuh, dan semangatnya berapi-api, menunjukkan bahwa ia (Latief) adalah manusia yang ketabahannya hampir-hampir merupakan suatu keajaiban. Ketika ia ditahan pada tanggal 11 Oktober, 1965, banyak syaraf utama di paha kanannya terputus oleh tusukan bayonet, sedangkan lutut kirinya hancur sepenuynya oleh peluru(sebenarnya, ia samasekali tidak berlawan). Di Rumah Sakit Tentara seluruh tubuhya di-gips, sehingga ia hanya bisa menggerakkan kepalanya saja. Namun dalam keadaan begini, ia masih diinterogasi sebelum dijebloskan ke dalam sel sempit, berbau busuk dan kotor dimana ia dipenjarakan selama tigabelas tahun berikutnya. Luka-lukanya membusuk dan dan mengeluarkan bau busuk bangkai. Ketika pada suatu ketika gipsnya dibuka untuk pemeriksaan, ratusan belatung merayap keluar. Melihat itu, salah seorang dari yang ditahan di penjara itu, harus berlari untuk muntah. Untuk dua setengah tahun lamanya Latief tergeletak di situ di dalam gipsnya sebelum ia dioperasi. Ia dipaksa disuntik penisilin, meskipun ia sudah menyampaikan kepada penjaganya bahwa ia amat alergis terhadap penisilin. Sehingga akhirnya ia jatuh pingsan dan hampir saja mati. Bertahun-tahun lamanya ia menderita penyakit bawazir (ambeien), hernia, kencing batu, dan pengapuran tulang belakang. Perawatan yang diterima oleh para tahanan lainnya, teristimwa banyak orang-orang tentara diantaranya, tidak banyak berbeda, dan makanan mereka miskin sekali dan sering-sering sudah basi. Tidaklah mengherankan, maka banyak yang mati di Penjara Salemba, banyak yang jadi lumpuh disebabkan oleh siksaan, dan lainnya lagi jadi gila. Berhadapan dengan kekejaman seperti itu, barangkali bahkan Kempetai akan terkejut..

Dan ini, tulis Ben Anderson, hanyalah Penjara Salemba – salah satu dari begitu banyak penjara di Jakarta dan di seluruh Nusantara, dimana ratusan ribu manusia ditahan untuk bertahun-tahun lamanya tanpa pengadilan. Siapa yang bertanggung-jawab dibangunnya Gulag tropis ini? Buku sejarah untuk murid-murid sekolah-sekolah Indonesia bicara tentang monster (buto) bernama Kapten ‘Turk’ Westerling. Mereka biasanya menyebut jumlah korban yang ditimbulkannya di Sulawesi Selatan dalam tahun 1946, berjumlah empatpuluh ribu. Pasti lebih banyak lagi yang luka-luka, banyak rumah dibakar habis, banyak harta-benda dirampok dan, di sana-sini, perempuan-perempuan diperkosa. Pidato pembelaan Gus Dul (Latief) minta pembaca untuk merefleksikan suatu monster “bumiputera”, yang kekejamannya jauh melebihi kekejaman Kapten Westerling. Dalam masaker tahun 1965-66, sesedikitnya enam ratus ribu orang telah dibunuh.

Andaikata apa yang dilaporkan mengenai pernyataan Sarwo Edhi di temapt tidur menjelang akhir hidupnya kepada Mas Permadi itu betul, maka jumlah itu mungkin mencapai lebih dari dua juta. Antara 1977 dan 1979, paling tidak dua ratus ribu orang di Timor Timur mati sebelum masanya, dibunuh langsung atau musnah karena mati kelaparan sistimatis dan karena penyakit-penyakit akibat kelaparan. Amnesty International berkesimpulan bahwa tujuh ribu orang dibunuh secara ekstra-judisial dalam Peristiwa Petrus 1983. Terhadap para korban ini, kita harus tambahkan yang terjadi di Aceh, Irian, Lampung, Tanjung Priok dan dimana lagi. Suatu perkiraan yang paling konservatif: sebanyak 800.000 jiwa, atau duapuluh kali ‘angka’ Westerling. Dan semua korban ini, pada waktu mereka dihabisi nyawanya, resminya dianggap sebagai sewarganegara dengan sang monster. Demikian Ben Andrson.
(Bersambung)

Tulisan ini adalah bagian 3, bagian terahkir, dari tulisan pakar Indonesianis berbangsa Amerika, Prof. Dr. Ben Anderson, yang berjudul: “PETRUS DADI RATU” (New Left Review 3, May-June 2000). Bagian pertama dari tulisan ini disiarkan pada tanggal 29 Juli, 2005; bagian ke-2 pada tanggal 4 Agustus kemarin.

Dalam kata pengantarnya pada artikel Ben Anderson tsb, Redaksi ‘New Left Review’ menulis: “What lay behind the greatest counter-revoluiontary massacre of the 20th century, the extermination of the Indonesian Left in 1965? How did the Suharto dictatorship come to power? The extraordinary testimony of a survivor on the bloody mystery at the source of its tyranny.” Terjemahan bebas: “Apa latar belakang pembantaian kontra-revolusioner terbesar pada abad ke-20, dimusnahkannya kekuatan Kiri Indonesia dalam tahun 1965? Bagaimana kediktatoran Suharto mencapai kekuasaan? Suatu kesaksian dari seorang suvivor (orang yang masih hidup) tentang misteri berdarah pada sumber kekuasaan tiraninya”.

Ben Anderson menulisnya lima tahun yang lalu. Bacalah lagi tulisannya sekarang. Di saat menjelang ulang-tahun ke-40 terjadinya peristiwa yang paling menggemparkan, paling kejam dan paling besar dalam hal pelanggarannya terhadap Hak-Hak Azasi Manusia, terasa sekali tulisan Ben Anderson masih amat relevan. Jusstru karena Ben Anderson, diakui oleh kalangan ilmuwan internasional, adalah pakar yang paling tekun dan teliti menstudi masalah Indonesia.

Bukankah sampai sekarang peristiwa Gerakan 30 September itu masih misterius? Namun, yang tidak misterius, yang masih amat jelas dan masih terlihat langsung bukti-bukti dan kesaksiannya terpampang di hadapan mata kita, ialah peristiwa pembantaian masal terhadap warganegara yang tidak bersalah, yang jumlahnya melebihi satu juga orang. Suatu pelanggaran terhadap HAM yang paling kolosal yang pernah dilakukan oleh penguasa Indonesia. Dalam hal ini oleh rezim kediktoran Jendral Suharto. Yang dengan sombong menamakan dirinya sebagai Orde Baru!

Marilah kita ikuti lanjutan tulisan Ben Anderson:
Latief bicara tentang bagian-bagian lainnya dari tragedi nasional yang juga merupakan bahan pemikiran. Umpamanya, ratusan ribu wargabegara yang meringkuk dipenjara bertahun-tahun lamanya, tanpa tuduhan jelas terhadap mereka itu, dan tanpa proses pengadilan apapun, selain menderita, juga secara rutin mengalami penyiksaan yang mengerikan. Belum lagi bicara tentang hilangnya harta-benda yang tak terhitung jumlah dan nilainya sebagai akibat dari pencurian dan perampokan, yang terkadang terjadi, pemerkosaan setiap hari, dan ostracism (pengasingan/pemboikotan/atigmatisasi) yang bertahun-tahun lamanya, tidak hanya bagi eks-tapol sendiri, tetapi bagi istri-istri dan janda-janda, bagi anak-anak, dan sanak-keluarga mereka dalam arti kata yang seluas-luasnya.

Lanjut Ben Ansderson: ‘Aku menggugat’ Latief ditulis duapuluh dua tahun yang lalu
(Catatan penulis I.Isa – ingat tulisan Ben ini pada tahun 2000, ketika itu buku Latief baru terbit). Ben Anderson: Dalam pada itu banyak hal telah terjadi di negeri ini. Tetapi barulah sekarang ini barangkali bahwa (buku Ltief itu) dapat memperoleh arti terpenting, bila ia berfungsi untuk menyentuh hati nurani rakyat Indonesia, terutama generasi mudanya. Untuk ribut-ribut tentang korupsi Suharto dan keluarganya, seakan-akan kriminalitasnya itu sama beratnya dengan yang dilakukan Eddy Tanzil, sama halnya dengan ribut-ribut tentang gundik-gundiknya Idi Amin, penggelapan yang dilakukan Slobodan Milosevic, atau tentang selera Adolf Hitler terhadap karya-karya seni picisan.

Bahwa klas menengah, dan sebagian cukup besar dari kaum cendekiawan Jakarta, masih menyibukkan dirinya dengan uang-kontan yang dicuri oleh ‘Pak Harto’ (mungkin dalam impian mereka mereka berfikir bahwa jumlah itu sebagai ‘uang kontan kita’) dengan jelas menunjukkan bahwa, mereka itu masih belum siap untuk berhadapan dengan totalitas sejarah modern Indonesia. Sikap ini, kata Ben, adalah suatu sikap burung onta yang membenamkan kepalanya ke dalam pasir gurun-pasir, --- adalah amat berbahaya. Seorang bijaksana sekali tempo dulu mengatakan: Mereka yang lupa/menganggap sepi masa lampau terkutuk akan mengulanginya lagi. Menakutkan, ia kan?

Lanjut Ben Anderson lagi:

Begitu pentingnya pembelaan Latief, dibuat di bawah syarat-syarat luar biasa (sulitnya), tak dapat mengungkap kerudung yang masih menutupi banyak aspek mengenai Gerakan 30 Septembger dan dampak-nya. Diantara sedemikian banyak pertanyaan, orang paling-tidak bisa mengajukan pertanyaan ini: Mengapa Latief tidak dieksekusi (ditembak mati), sedangkan Untung, Supardjo, Mayor AURI Suyono, dan lain-lainnya hukuman matinya dilaksanakan? Mengapa Yani dan jendral-jendral lainnya itu dibunuh, sedangkan rencana semula ialah mengajukan mereka, sebagai satu kelompok, dihadapkan pada Sukarno? Mengapa Lettu Dul Arief dari Pasukan Pengawal Presiden (Cakrabirawa, I.I.), kemudian menghilang tanpa jejak?
Bagaimana dan mengapa seluruh Jawa Tengah jatuh ke tangan para pendukung Gerakan 30 September untuk satu setengah hari lamanya, sedangkan hal yang serupa tidak terjadi di provinsi-lain manapun? Mengapa Kol. Suherman, Mayor Usman dan teman-temannya di Semarang juga menghilang tanpa jejak? Siapa sebenarnya Syam alias Kamaruzzaman itu?(Catatan Ben Anderson: Katanya ia adalah kepala Biro Khusus PKI, dan perancang Gerakan 30 September). Siapa sesungguhnya Syam alias Kamaruzzaman – mantan pejabat Recomba dari Negara Federal Pasundan ( Catatan Ben: Dari perang dalam negeri 1957-58, ketika orang-orang ini terikat erat dengan CIA juga dengan Special Branch di Singapura dan Malaya), mantan anggota Partai Sosialis Indonesia yang anti-Komunis, bekas agen intel untuk Kodam Jakarta pada periode peristiwa penyelundupan besar-besaran oleh Jendral Nasution dan Jendral Ibnu Sutowo dari Tanjung Priok, juga mantan teman terdekat D.N. Aidit? Apakah dia itu mata-mata Angkatan Darat di kalangan kaum Komunis? Atau mata-mata dari fihak ketiga? Atau sekaligus mata-mata untuk ketiga-tiga fihak itu? Apakah ia benar dieksekusi, ataukah ia bermukim dengan senang diluar-negeri dengan nama baru dan dompet tebal?

Latief juga tidak bisa memberikan jawaban tentang aspek-aspek kunci mengenai kegiatan Gerakan 30 September, di atas segala-galanya mengenai kebodohan politik yang dilakukannya. Pengumuman Letkol Untung lewat radio bahwa mulai tanggal 1 Oktober, pangkat tertinggi militer adalah seperti yang disandangnya sendiri, dengan demikian secara otomatis menjadikan dirinya musuh semua jendral dan kolonel di Indonesia, banyak dari mereka itu menjabat pos-pos penting kesatuan-kesatuan tempur.

Pasti ini gila, tulis Ben. Mengapa daftar yang diumumkan mengenai Dewan Revolusi begitu kacaunya dan begitu tak terbayangkan, tak mungkin terjadi? (Catatan Ben: Gerakan memproklamasikan Dewan ini sebagai kekuasaan sementara di Indonesia, tetapi para anggotanya termasuk jendral-jendral Kanan, orang-orang Kiri yang kurang penting, dari sejumlah politisi yang terkenal opotunis, bersamaan dengan itu menyisihkan semua tokoh yang punya reputasi nasional dan organisasi-organisasi massa di belakang mereka). Mengapa Gerakan tidak mengumumkan bahwa mereka bertindak atas perintah Presiden Sukarno (meskipun ini tidak benar), tetapi malah membubarkan kabinet Sukarno sendiri. Mengapa tidak berseru kepada massa untuk turun di jalan-jalan untuk melindungi pemimpin nasion? Sungguh tidak bisa dipercaya, bahwa para pemimpin yang begitu berpengalaman dan cerdik seperti Aidit, Nyoto dan Sudisman (Catatan Ben: Sekertaris Jendral PKI) membuat serentetan kesalahan-kesalahan politik yang fatal seperti itu?

Maka dengan sendirinya timbullah kecurigaan, kata Ben, bahwa jerat ini sengaja diatur untuk menjamin kegagalan Gerakan itu. Pengumuman-pengumuman seperti yang disebut diatas hanyalah mengacaukan umum, melumpuhkan massa, dan memberikan dalih mudah untuk menghancurkan Gerakan 30 September itu sendiri. Dalam peristiwa ini, siapa yang sesungguhnya membikin pengumuman-pengumuman yang ganjil dan mengatur diumumkannya lewat radio nasional.

Ben Anderson: Kebanyakan dari para pelaku, dan juga para saksi-kunci krisis 1965, sudah pada mati atau dibunuh. Mereka yang masih hidup menutup mulut mereka rapat-rapat, atas pelbagai pertimbangan sendiri: umpamanya, Umar Wirahadikusuma, Omar Dhani, Sudharmono, Rewang, M. Pangabean, Benny Murdani, Ny. Hartini, Mursyid, Yoga Sugama, Andi Yusuf dan Kemal Idris. (Catatan Ben Anderson: Omar Dhani: Panglima AURI pada tahun 1965, dihukum mati, kemudian hukumannya dijadikan hukuman seumur hidup, dan kemudian baru-baru ini dibebaskan. Sudharmono: puluhan tahun lamanya orang terdekat Suharto. Rewang: mantan calon anggota Politbiro PKI. Pangabean: Jendral tertinggi klik Suharto dan menggantikan Suharto sebagai panglima Kostrad (Catatan I. Isa: Mungkin yang dimaksudkan Ben adalah Panglima Kopkamtib). Hartini: Istri kedua Sukarno dlam tahun 1965. Mursyid: Jendral Sukarnois mengepalai operasi militer untuk Staf AD pada tahun 1965, kemudian ditahan. Yusuf dan Idris: dua-dua jendral ini memainkan peranan sentral dalam penggulingan Sukarno). Sekarang sudah 35 tahun berlalu, apakah tidak baik guna kepentingan haridepan nasion Indonesia bila orang-orang ini diharuskan untuk memberikan keterangan yang paling rinci tentang apa yang mereka kerjakan dan saksikan, sebelum mereka pergi menjumpai Sang Pencipta?

Menurut pepatah kuno, tulis Ben Anderson lagi, --- Mesin giling Tuhan bekerja lamban tetapi hasil gilingannya halus sekali. Makna dari peribahasa ini ialah, akhirnya beras-kebenaran akan dipisahkan dari dedak-kerincuan dan kedustaan.. Di setiap bagian dunia ini, betapapun, -- pada suatu hari kelak, dokumen-dokumen yang dalam waktu lama dirahasiakan, manuskrip dan memoir yang tersimpan dalam laci-laci terkunci, dan catatan-harian penuh abu di loténg para cucu, akhirnya akan dimasukkan ke mesin giling—NYA, dan isinya akan terbuka bagi generasi mendatang.

Dengan bukunya ini, ‘yang dibungkam’ selama duapuluhsatu tahun dengan penderitaan yang luar biasa, Abdul Latief, dengan kekuatannya yang mengagumkan, telah memberikan contoh yang mengesankan sehubungan dengan pepatah kuno tadi. Siapa tahu, pada suatu ketika gugatan-gugatannya itu dapat memberikan bahan berharga bagi suatu skrip dari drama dalam repertoar Teater Wayang Sejarah Nasional dengan judul . .. . yah, apalgi ya? Kalau bukan: --- PETRUS JADI RAJA.

Dalam ceritera wayang Jawa, ‘Petruk Dadi Ratu’ adalah adalah suatu ceritera lelucon, dimana Petruk, tokoh badut terkenal yang dicintai, singkat jadi Raja, dengan segala akibatnya yang meriah. Bagi PETRUS, baca Si Pembantai – lihat cartatan saya terdahulu tenteng Petrus; Suharto menganggap dirinya yang terkenal kejamnya itu, sebagai semacam raja Jawa model baru, yang secara transparan menyamar sebagai Presiden Republik Indonesia. Demikianlah akhir tulisan Ben Anderson..

Dengan tulisan-tulisannya, Ben Anderson menunjukkan perhatian, kepedulian dan keprihatinnya terhadap sikap para cendekiawan Indonesia yang dikatakannya, sbb:

“Bahwa klas menengah, dan sebagian cukup besar dari kaum cendekiawan Jakarta, masih menyibukkan dirinya dengan uang-kontan yang dicuri oleh ‘Pak Harto’ (mungkin dalam impian mereka mereka berfikir bahaw jumlah itu sebagai ‘uang kontan kita’) dengan jelas menunjukkan bahwa, mereka itu masih belum siap untuk berhadapan dengan totalitas sejarah modern Indonesia. Sikap ini, kata Ben, adalah suatu sikap burung onta yang membenamkan kepalanya ke dalam pasir gurun-pasir, --- adalah amat berbahaya.. Seorang bijaksana sekali tempo mengatakan: Mereka yang lupa/menganggap sepi masa lampau terkutuk akan mengulanginya lagi. Menakutkan, ia kan?”.

Apa yang kita saksikan sekarang ini, canang Ben Andeson ini masih relevan. Patut diperhatikan, khususnya oleh para cendekiawan generasi muda kita. Agar tidak terulang lagi sikap munafik “burung onta yang menenggelamkan kepalanya ke dalam gurun pasir”. Suatu sikap yang amat berbahaya.

Mari camkan dan endapkan bersama canang sahabat Indonesia, pakar Amerika Prof. Dr Ben Anderson:“Mereka yang lupa/menganggap sepi masa lampau terkutuk akan mengulanginya lagi”. Terima kasih Pak Ben!!

PERISTIWA MALARI (MALAPETAKA 15 JANUARI 1974)

PERISTIWA MALARI

(MALAPETAKA 15 JANUARI 1974)

Dari berbagai sumber

Peristiwa Malari (Malapetaka Lima Belas Januari) adalah peristiwa
demonstrasi mahasiswa dan kerusuhan sosial yang terjadi pada 15
Januari 1974.

Peristiwa itu terjadi saat Perdana Menteri (PM) Jepang Kakuei Tanaka sedang
berkunjung ke Jakarta (14-17 Januari 1974). Mahasiswa merencanakan menyambut
kedatangannya dengan berdemonstrasi di Pangkalan Udara Halim Perdanakusuma.
Karena dijaga ketat, rombongan mahasiswa tidak berhasil menerobos masuk
pangkalan udara. Tanggal 17 Januari 1974 pukul 08.00, PM Jepang itu
berangkat
dari Istana tidak dengan mobil, tetapi diantar Presiden Soeharto dengan
helikopter dari Bina Graha ke pangkalan udara.

Kedatangan Ketua Inter-Governmental Group on Indonesia (IGGI), Jan P. Pronk
dijadikan momentum untuk demonstrasi antimodal asing. Klimaksnya, kedatangan
PM Jepang, Januari 1974, disertai demonstrasi dan kerusuhan.

Usai terjadi demonstrasi yang disertai kerusuhan, pembakaran, dan
penjarahan, Jakarta berasap. Soeharto memberhentikan Soemitro sebagai
Panglima Kopkamtib, langsung mengambil alih jabatan itu. Jabatan Asisten
Pribadi Presiden dibubarkan. Kepala Bakin Soetopo Juwono digantikan oleh
Yoga Sugama.

Dalam peristiwa Malari Jenderal Ali Moertopo menuduh eks PSII dan eks
Masyumi atau ekstrem kanan adalah dalang peristiwa tersebut. Tetapi setelah
para tokoh peristiwa Malari seperti Syahrir dan Hariman Siregar diadili,
tidak bisa dibuktikan bahwa ada sedikitpun fakta dan ada seorangpun tokoh
eks Masyumi yang terlibat di situ. Belakangan ini barulah ada pernyataan
dari Jenderal Soemitro (almarhum) dalam buku Heru Cahyono, Pangkopkamtib
Jendral Soemitro dan Peristiwa Malari bahwa ada kemungkinan kalau justru
malahan Ali Moertopo sendiri dengan CSIS-nya yang mendalangi peristiwa
Malari.

---

Malari 1974 dan Sisi Gelap Sejarah


Oleh Asvi Warman Adam

KEKERASAN di Indonesia hanya dapat dirasakan, tidak untuk diungkap tuntas.
Berita di koran hanya mengungkap fakta yang bisa dilihat dengan mata
telanjang. Kasus 15 Januari 1974 yang lebih dikenal "Peristiwa Malari",
tercatat sedikitnya 11 orang meninggal, 300 luka-luka, 775 orang ditahan.
Sebanyak 807 mobil dan 187 sepeda motor dirusak/dibakar, 144 bangunan rusak.
Sebanyak 160 kg emas hilang dari sejumlah toko perhiasan.

Peristiwa itu terjadi saat Perdana Menteri (PM) Jepang Kakuei Tanaka sedang
berkunjung ke Jakarta (14-17 Januari 1974). Mahasiswa merencanakan menyambut
kedatangannya dengan berdemonstrasi di Pangkalan Udara Halim Perdanakusuma.
Karena dijaga ketat, rombongan mahasiswa tidak berhasil menerobos masuk
pangkalan udara. Tanggal 17 Januari 1974 pukul 08.00, PM Jepang itu
berangkat dari Istana tidak dengan mobil, tetapi diantar Presiden Soeharto
dengan helikopter dari Bina Graha ke pangkalan udara. Itu memperlihatkan,
suasana Kota Jakarta masih mencekam.

PERISTIWA Malari dapat dilihat dari berbagai perspektif. Ada yang
memandangnya sebagai demonstrasi mahasiswa menentang modal asing, terutama
Jepang. Beberapa pengamat melihat peristiwa itu sebagai ketidaksenangan kaum
intelektual terhadap Asisten pribadi (Aspri) Presiden Soeharto (Ali
Moertopo, Soedjono Humardani, dan lain-lain) yang memiliki kekuasaan teramat
besar.

Ada analisis tentang friksi elite militer, khususnya rivalitas Jenderal
Soemitro-Ali Moertopo. Kecenderungan serupa juga tampak dalam kasus Mei 1998
(Wiranto versus Prabowo). Kedua kasus ini, meminjam ungkapan Chalmers
Johnson (Blowback, 2000), dapat disebut permainan "jenderal kalajengking"
(scorpion general).

Usai terjadi demonstrasi yang disertai kerusuhan, pembakaran, dan
penjarahan, Jakarta berasap. Soeharto menghentikan Soemitro sebagai
Pangkomkamtib, langsung mengambil alih jabatan itu. Aspri Presiden
dibubarkan. Kepala BAKIN Soetopo Juwono "didubeskan", diganti Yoga Sugama.

Bagi Soeharto, kerusuhan 15 Januari 1974 mencoreng kening karena peristiwa
itu terjadi di depan hidung tamu negara, PM Jepang. Malu yang tak
tertahankan menyebabkan ia untuk selanjutnya amat waspada terhadap semua
orang/golongan serta melakukan sanksi tak berampun terhadap pihak yang bisa
mengusik pemerintah.

Selanjutnya, ia amat selektif memilih pembantu dekatnya, antara lain dengan
kriteria "pernah jadi ajudan Presiden". Segala upaya dijalankan untuk
mempertahankan dan mengawetkan kekuasaan, baik secara fisik maupun secara
mental.

Dari sudut ini, peristiwa 15 Januari 1974 dapat disebut sebagai salah satu
tonggak sejarah kekerasan Orde Baru. Sejak itu represi dijalankan secara
lebih sistematis.

Malari sebagai wacana

Dalam buku Otobiografi Soeharto (terbit tahun 1989), kasus Malari 1974
dilewatkan begitu saja, tidak disinggung. Padahal, mengenai "petrus"
(penembakan misterius), Soeharto cukup berterus terang di situ.

Dalam Memori Jenderal Yoga (1990), peristiwa itu digambarkan sebagai klimaks
kegiatan mahasiswa yang telah berlangsung sejak 1973. Yoga Sugama ada di New
York
saat kerusuhan 15 Januari 1974. Lima hari setelah itu ia dipanggil ke
Jakarta, menggantikan Soetopo Juwono menjadi Kepala BAKIN.

Menurut Yoga, ceramah dan demonstrasi di kampus-kampus mematangkan situasi,
bermuara pada penentangan kebijakan ekonomi pemerintah. Awalnya, diskusi di
UI Jakarta (13-16/8/1973) dengan pembicara Subadio Sastrosatomo, Sjafrudin
Prawiranegara, Ali Sastroamidjojo, dan TB Simatupang. Disusul peringatan
Sumpah Pemuda yang menghasilkan "Petisi 24 Oktober".

Kedatangan Ketua IGGI JP Pronk dijadikan momentum untuk demonstrasi
antimodal asing. Klimaksnya, kedatangan PM Jepang, Januari 1974, disertai
demonstrasi dan kerusuhan.

Dalam buku-buku Ramadhan KH (1994) dan Heru Cahyono (1998) terlihat
kecenderungan Soemitro untuk menyalahkan Ali Moertopo yang merupakan
rivalnya dalam dunia politik tingkat tinggi. Soemitro mengungkapkan, Ali
Moertopo dan Soedjono Humardani "membina" orang-orang eks DI/TII dalam GUPPI
(Gabungan Usaha Perbaikan Pendidikan Islam). Pola pemanfaatan unsur Islam
radikal ini sering berulang pada era Orde Baru.

Dalam kasus Malari, lewat organisasi itu dilakukan pengerahan massa oleh
Ramadi dan Kyai Nur dari Banten. Bambang Trisulo disebut-sebut mengeluarkan
Rp 30 juta untuk membayar para preman. Roy Simandjuntak mengerahkan tukang
becak dari sekitar Senen. Kegiatan itu-antara lain perusakan mobil Jepang,
kantor Toyota Astra dan Coca Cola-dilakukan untuk merusak citra mahasiswa
dan memukul duet Soemitro-Soetopo Juwono (Heru Cahyono, 1992: 166).

Sebaliknya, "dokumen Ramadi" mengungkap rencana Soemitro menggalang kekuatan
di kampus-kampus, "Ada seorang Jenderal berinisial
S akan merebut kekuasaan dengan menggulingkan Presiden sekitar bulan April
hingga Juni 1974. Revolusi sosial pasti meletus dan Pak
Harto bakal jatuh". Ramadi saat itu dikenal dekat dengan Soedjono Humardani
dan Ali Moertopo. Tudingan dalam "dokumen" itu tentu mengacu Jenderal
Soemitro.

Keterangan Soemitro dan Ali Moertopo masing-masing berbeda, bahkan
bertentangan. Mana yang benar, Soemitro atau Ali Moertopo?

Kita melihat pelaku kerusuhan di lapangan dibekuk aparat, tetapi siapa aktor
intelektualnya tidak pernah terungkap. Ramadi ditangkap dan meninggal secara
misterius dalam status tahanan.

Sebagian sejarah Orde Baru, termasuk peristiwa Malari 1974, memang masih
gelap.

Tragedi Semanggi 12 November 1998

Tragedi Semanggi 12 November 1998

Tragedi Trisakti & Semanggi: Pengingkaran dan Impunitas Negara atas Kejahatan Berat HAM

Komite 13 November 1998 meminta masyarakat agar berhati-hati para calon presiden ataupun calon legislatif yang diduga memiliki keterlibatan dengan peristiwa Tragedi Trisakti, Semanggi I dan II.
___________________________

Siaran Pers
Mempringati 10 tahun tragedi Trisakti dan Semangi I & II, Komite 13 November 1998 menuntut sejumlah mantan petingi TNI segera disidik dan diadili. Beberapa mantan perwira seperti Syafrie Samsoedin (eks. Pangdam Jaya), Prabowo Subianto (eks.Pangkostrad), Noegroho Djayusman (eks Kapolda Metro Jaya), Djaja Suparman (Eks Pangdam Jaya saat tragedi Semanggi I dan II), serta Wiranto (eks Panglima ABRI) diminta bertangung jawab.

Komite ini meminta hasil penyelidikan KPP HAM atas Trisakti, Semanggi I dan II yang telah dikeluarkan Komnas HAM di tahun 2002 dilanjutkan. Segera dibentuk Pengadilan HAM Ad hoc atas Tragedi Trisakti, Semanggi I dan II.

Komite 13 November juga meminta masyarakat agar berhati-hati para calon presiden ataupun calon legislatif yang diduga memilikiketerlibatan dengan peristiwa Tragedi Trisakti, Semanggi I dan II. Juga, agar pemilih berhati-hatti terhadap para calon anggota DPR yang pada masa Pansus Trisakti, Semanggi I dan II DPR periode 1999-2004 DPR menyatakan bahwa dalam Tragedi Trisakti, Semanggi I dan II Tidak terjadi pelanggaran berat HAM.

Menurut Komite ini, ketidakberpihakan mereka terhadap korban semestinya dijadikan tanda bahaya bagi para pemilih agar jangan memilih para politisi yang menjadi kepanjangan tangan para pihak yang diduga melakukan kejahatan berat HAM di dalam mekanisme parlemen (lihat daftar di bawah).

“Hanya melalui proses pengungkapan kebenaran secara menyeluruh kepada publik, penuntutan dan penghukuman pelaku termasuk para pengambil kebijakan tertinggi serta penggantian kerugian dan rehabilitasi para korban yang disertai dengan tindakan mereformasi badan-badan pemerintahan atau negara yang terlibat dalam pelanggaran berat HAM di masa lalu, beban sejarah masa dapat diputus,” sebut Komite ini dalam siaran persnya..

Proses Hukum & Parlemen
Seperti diketahui proses hukum dalam Pengadilan Militer pada kasus Trisakti dan Semanggi II hanya menyasar pada prajurit bawahan, baik di kepolisian maupun di ketentaraan. Sebaliknya, para petinggi TNI/Polri tidak tersentuh hukum sama sekali. Selanjutnya, sampai saat ini dengan alasan bahwa Pengadilan Militer telah digelar dan telah menghukum beberapa prajurit, dan dengan mengatasnamakan asas hukum nebis in idem, segala upaya untuk meneruskan hukum dalam konteks pelanggaran berat HAM selalu digagalkan.

Di ranah parlemen, atas tekanan publik yang besar, DPR RI periode 1999-2004 membentuk Pansus Trisakti, Semanggi I dan II berdasarkan Keputusan DPR RI No 29/DPR RI/III/2000-2001. Namun pada akhirnya, Pansus inipun menghasilkan rekomendasu yang melukai keluarga koran. Rekomendasi DPR yang dikeluarkan pada 9 Juli 2001 justru menyatakan, bahwa pada peristiwa Trisakti, Semanggi I dan II tidak terjadi pelanggaran berat HAM.

Selanjutnya, pada DPR periode 2004-2009, DPR menjadikan isu Tragedi Trisakti, Semanggi I dan II sebagai komoditas politik yang dipermainkan di dalam sidang-sidang Komisi III maupun Bamus DPR.

Pada perkembangannya, rekomendasi Pansus DPR 2001 justru dijadikan tameng politik untuk tidak menggelar pengadilan HAM Ad Hoc atas Tragedi Trisakti, Semanggi I dan II. Tafsir pasar 43 ayat 2 UU 26/2000 dipelintir sedemikian rupa sehingga seakan-akan DPR memiliki kewenangan, dan memiliki kemampuan teknis untuk memutuskan peristiwa penembakan Trisakti dan Semanggi adalah termasuk pelanggaran berat HAM atau bukan. Berulang kali pemerintah mengatakan bahwa karena DPR di tahun 2001 telah menyatakan bahwa pada Tragedi Trisakti, Semanggi I dan II tidak teradi pelanggaran berat HAM maka tragedi tersebut tidak lagi dapat diusut melakui mekasnisme pengadilan HAM Ad Hoc. Sebuah penafsiran yang secara gamblang keliru.

Bahkan ketika Mahkamah Konstitusi, dalam putusannya bernomor 18/PUU-V/2007 telah menegaskan penafsiran benar atas pasal tersebut, pemerintah, dalam hal ini Kejagung, bergeming dengan penafsiran sendri dan mengabakan sebuah keputusan lembaga negara yang memiliki otoritas kuat berdasarkan UUD dalam pengujian UU.

Komite 13 November menyebutkan, semua upaya pengingkaran dan impunitas di atas sama sekali mengabaikan adanya hasil penyeledikan Komnas HAM melalui KPP HAM Tragedi Trisakti, Semanggi I dan II yang dikeluakan pada bulan Maret 2002, yang secara jelas menyatakan bahwa ketiga tragedi bertautan satu sama lain dalam kontek kekuasaan dan kebijakan pemerintah saat itu.

Disebutkan juga, telah terdapat bukti-bukti awal yang cukup bahwa didalam ketiga tragedi telah terjadi pelanggaran berat HAM. Sehingga Komnas HAM merekomendasikan untuk melakukan penyudukan terhadap sejumlah pertingi TNI/Polri pada masa itu. Namun, lagi-lagi hasil penyelidikan itu sampai sekarang diabaikan. Bahkan, panggilan Komnas HAM , yang merupakan sebuah lembaga resmi yang dibentuk berdasarkan UU diabaikan oleh para petinggi militer, meski Pengadilan Negeri Jakarta Pusat telah mengeluarkan surat resmi bernomor W7.Dc.Hn.628.II.2002.02 bertanggal 21 Februari 2002 yang menegaskan keabsahan KKP HAM Trisakti, Semanggi I dan II.

Daftar Mantan Perwira TNI/Polri dan Anggota Pansus Trisakti dan Semanggi I & II:

Mantan Petinggi TNI pada masa Tragedi Trisakti – Semanggi yang berencana mencalonkan diri sebagai Kandidat Presiden di Pemilu 2009:
1. Wiranto (Partai Pendukung Utama: Hanura)
2. Prabowo (Partai Pendukung Utama: Gerindra)

Nama-nama anggota Pansus Kasus Trisakti, Semanggi I dan II DPR RI periode 1999-2004 yang menyatakan bahwa dalam tragedi Trisakti, Semanggi I dan II tidak terjadi kejahatan berat HAM, dan yang kembali mencalonkan menjadi Calong Anggota Legislatif pada pemilu 2009:

Partai Golkar:
Priyo Budi Santoso (Dapil Jatim I)
Malkan Amin (Dapil Sulsel 2)
Idrus Marham (Dapil Sulsel 3)
Mariani Akib Baramuli (Dapil Sulsel 3)
Hajriyanto Y Thorari (Dapil Jateng 4)
Gumilang Kartasasmita (Dapil Jabar 2)
Ahmadi Noor Supit (Dapil Kalsel 1)
Agun Gunandjar Sudarsa (Dapil Jabar 10)

Partai Persatuan Pembangunan (PPP)
Suryadharma Ali (Dapil Jabar 3)
Ahmad Farial (Dapil Jabar 5)
Endin A.J Soesi (Dapil Banten 2)
Abdullah Syarwani (Dapil Jateng 7)

Partai Amanat Nasional (PAN)
Alvien Lie (Dapil Jateng I)
St. Ambia B Boestam (Dapil Sumbar 1)

Partai Keadilan Sejahtera (PKS)
Irwan Prayitno (Dapil Sumbar 1)

Partai Persatuan Daerah (PPD)
Ronggo Soenarso (Dapil Jatim 8) eks Fraksi TNI/Polri

Komite 13 November 1998

Penulis: KontraS, Komite 13 November 1998

Tragedi Semanggi I

Pada bulan November 1998 pemerintahan transisi Indonesia mengadakan Sidang Istimewa untuk menentukan Pemilu berikutnya dan membahas agenda-agenda pemerintahan yang akan dilakukan. Mahasiswa bergolak kembali karena mereka tidak mengakui pemerintahan ini dan mereka mendesak pula untuk menyingkirkan militer dari politik serta pembersihan pemerintahan dari orang-orang Orde Baru.

Masyarakat dan mahasiswa menolak Sidang Istimewa 1998 dan juga menentang dwifungsi ABRI/TNI karena dwifungsi inilah salah satu penyebab bangsa ini tak pernah bisa maju sebagaimana mestinya. Benar memang ada kemajuan, tapi bisa lebih maju dari yang sudah berlalu, jadi, boleh dikatakan kita diperlambat maju. Sepanjang diadakannya Sidang Istimewa itu masyarakat bergabung dengan mahasiswa setiap hari melakukan demonstrasi ke jalan-jalan di Jakarta dan kota-kota besar lainnya di Indonesia. Peristiwa ini mendapat perhatian sangat besar dari dunia internasional terlebih lagi nasional. Hampir seluruh sekolah dan universitas di Jakarta, tempat diadakannya Sidang Istimewa tersebut, diliburkan untuk mecegah mahasiswa berkumpul. Apapun yang dilakukan oleh mahasiswa mendapat perhatian ekstra ketat dari pimpinan universitas masing-masing karena mereka di bawah tekanan aparat yang tidak menghendaki aksi mahasiswa. Sejarah membuktikan bahwa perjuangan mahasiswa tak bisa dibendung, mereka sangat berani dan jika perlu mereka rela mengorbankan nyawa mereka demi Indonesia baru.

Pada tanggal 12 November 1998 ratusan ribu mahasiswa dan masyrakat bergerak menuju ke gedung DPR/MPR dari segala arah, Semanggi-Slipi-Kuningan, tetapi tidak ada yang berhasil menembus ke sana karena dikawal dengan sangat ketat oleh tentara, Brimob dan juga Pamswakarsa (pengamanan sipil yang bersenjata bambu runcing untuk diadu dengan mahasiswa). Pada malam harinya terjadi bentrok pertama kali di daerah Slipi dan puluhan mahasiswa masuk rumah sakit. Satu orang pelajar, yaitu Lukman Firdaus, terluka berat dan masuk rumah sakit. Beberapa hari kemudian ia meninggal dunia.

Esok harinya Jum'at tanggal 13 November 1998 ternyata banyak mahasiswa dan masyarakat sudah bergabung dan mencapai daerah Semanggi dan sekitarnya, bergabung dengan mahasiswa yang sudah ada di depan kampus Atma Jaya Jakarta. Jalan Sudirman sudah dihadang oleh aparat sejak malam hari dan pagi hingga siang harinya jumlah aparat semakin banyak guna menghadang laju mahasiswa dan masyarakat. Kali ini mahasiswa bersama masyarakat dikepung dari dua arah sepanjang Jalan Jenderal Sudirman dengan menggunakan kendaraan lapis baja.

Jumlah masyarakat dan mahasiswa yang bergabung diperkirakan puluhan ribu orang dan sekitar jam 3 sore kendaraan lapis baja bergerak untuk membubarkan massa membuat masyarakat melarikan diri, sementara mahasiswa mencoba bertahan namun saat itu juga terjadilah penembakan membabibuta oleh aparat dan saat di jalan itu juga sudah ada mahasiswa yang tertembak dan meninggal seketika di jalan. Ia adalah Teddy Wardhani Kusuma, merupakan korban meninggal pertama di hari itu.

Mahasiswa terpaksa lari ke kampus Atma Jaya untuk berlindung dan merawat kawan-kawan dan masyarakat yang terluka. Korban kedua penembakan oleh aparat adalah Wawan, yang nama lengkapnya adalah Bernadus R Norma Irawan, mahasiswa Fakultas Ekonomi Atma Jaya, Jakarta, tertembak di dadanya dari arah depan saat ingin menolong rekannya yang terluka di pelataran parkir kampus Atma Jaya, Jakarta. Mulai dari jam 3 sore itu sampai pagi hari sekitar jam 2 pagi terus terjadi penembakan terhadap mahasiswa di kawasan Semanggi dan saat itu juga lah semakin banyak korban berjatuhan baik yang meninggal tertembak maupun terluka. Gelombang mahasiswa dan masyarakat yang ingin bergabung terus berdatangan dan disambut dengan peluru dan gas airmata. Sangat dahsyatnya peristiwa itu hingga jumlah korban yang meninggal mencapai 15 orang, 7 mahasiswa dan 8 masyarakat. Indonesia kembali membara tapi kali ini tidak menimbulkan kerusuhan.

Anggota-anggota dewan yang bersidang istimewa dan tokoh-tokoh politik saat itu tidak peduli dan tidak mengangap penting suara dan pengorbanan masyarakat ataupun mahasiswa, jika tidak mau dikatakan meninggalkan masyarakat dan mahasiswa berjuang sendirian saat itu. Peristiwa itu dianggap sebagai hal lumrah dan biasa untuk biaya demokrasi. "Itulah yang harus dibayar mahasiswa kalau berani melawan tentara".

Betapa menyakitkan perlakuan mereka kepada masyarakat dan mahasiswa korban peristiwa ini. Kami tidak akan melupakannya, bukan karena kami tak bisa memaafkan, tapi karena kami akhirnya sadar bahwa kami memiliki tujuan yang berbeda dengan mereka. Kami bertujuan memajukan Indonesia sedangkan mereka bertujuan memajukan diri sendiri dan keluarga masing-masing. Sangat jelas!

Tragedi Semanggi II

Bangsa Indonesia harus mengucurkan air matanya kembali. Untuk yang kesekian kalinya tentara melakukan tindak kekerasan kepada mahasiswa dalam menghentikan penolakan sikap mahasiswa terhadap pemerintahan. Lokasi penembakan mahasiswa pun di tempat yang sangat strategis yang dapat dipantau oleh banyak orang awam yaitu di bawah jembatan Semanggi, depan kampus Universitas Atma Jaya Jakarta, dekat pusat sentra bisnis nasional maupun internasional.

Kala itu adanya pendesakan oleh pemerintahan transisi untuk mengeluarkan Undang-Undang Penanggulangan Keadaan Bahaya (UU PKB) yang materinya menurut banyak kalangan dan mahasiswa sangat memberikan keleluasaan kepada militer untuk melakukan keadaan negara sesuai kepentingan militer. Oleh karena itulah mahasiswa bergerak dalam jumlah besar untuk bersama-sama menentang diberlakukannya UU PKB karena ini menentang tuntutan mereka untuk menghilangkan dwifungsi ABRI/TNI. Karena hanya dengan berdemonstrasi, mereka yang mau mensahkan Undang-Undang tersebut baru berpikir, sebab tampaknya mereka sudah tak punya hati nurani lagi dan entah bagaimana membuat mereka peduli dengan bangsanya daripada peduli terhadap perut buncit mereka itu yang duduk di kursi parlemen menggunakan logo Pancasila dengan bangganya di jas mereka.

Malang nasib mahasiswa yang selalu harus berkorban, kali ini mahasiswa Universitas Indonesia harus kehilangan seorang pejuang demokrasi mereka, Yun Hap. Sungguh pedih bagi mereka yang terus mengikuti perjuangan mahasiswa karena ketika setiap kali mereka berjuang mereka harus mengorbankan jiwa mereka demi tegaknya demokrasi di Indonesia.